![]() |
Pagi ini
matahari hanya berani mengintip, tak sampai keluar sepenuhnya. Pak Burhan pergi ke tambak gurami, memberi pakan daun
Alocasia macrorrhizos atau orang
biasa menyebutnya sente. Tambak seluas 3000 meter itu, telah mengantarkannya
keliling dunia menjajakan ekspor gurami. Namun, diusianya yang telah jauh
melampaui usia emas, kegiatan ke tambak ia lakukan sebagai agenda melatih otot.
Setiap masa panen, ia rutin mengadakan acara mancing gratis untuk warga desa. Mereka
datang membawa anak dan tak sedikit pula yang mengajak istri. Menjadi wadah
silaturahmi sekaligus rekreasi. Bagi pak Burhan, kebahagiaan sesungguhnya bukan
berasal dari kegiatan berdagang, melainkan beramal.
Selepas dari
tambak, ia duduk di pelataran rumah. Lagu Bento ditugaskan sebagai musik
pengiring. Pak Burhan meneguk kopi selepas tiga isapan rokok kretek. Teman
terbaik saat menyambut pagi dan melepas senja. Dua komponen itu merupakan
formula yang tidak bisa ditawar. Baginya kombinasi tersebut sama mematikannya
dengan Uni Soviet dan Tiongkok. Sama vitalnya dengan “sluurp”
dan ”aaaahh”, sehabis nyeruput kopi. Bayangin deh, gimana canggungnya “sluurp”
tanpa diakhiri “aaahh”.
Istilah kopi
sudah melekat pada dirinya sejak SMP. Setiap ada tugas matematika, ia selalu
meng-copy tugas temannya. Kegiatan per
copy-an ini berlangsung terus sampai
Ujian Nasional hingga mengantarkannya ke SMA favorit di kota Semarang. Berbekal
kemampuan bergaul yang baik, ia mendekati bintang kelas. Darinya ia memperolah
bahan copy-an tugas dan ujian. Seperti
dejavu, kegiatan ini mengantarkannya
di Universitas Gajah Duduk jurusan Ilmu Hukum jalur undangan.
Kegiatan ini
semakin brutal saat duduk di bangku kuliah. Ia dikenal sebagai “TOMAS” alias
tokoh masyarakat di kampus. Kepopulerannya sangat mendukung dalam dunia per copy-an. Pak Burhan muda bahkan
memperdagangkan tugas yang telah ia copy.
Segmentasi pasarnya adalah fakultas bahkan kampus lain. Ia tak pernah menjalin
hubungan baik dengan dosen mana pun. Baginya, dosen hanya makluk licik yang
memanfaatkan mahasiswa. Sampai suatu ketika petaka datang dari dosen mata
kuliah hukum.
“Darimana kamu
dapat sumber tugas akhir itu?” tanya dosen dengan sinis.
“Dari internet
dan buku referensi, pak.”
“Jawaban
bohong kamu, gagal nutupin kebohongan kamu sebelumnya. Saya punya arsip tugas
akhir 10 tahun terakhir.”
“Ehm, mungkin
kebetulan, Pak!” sanggahnya sambil berkeringat.
“Saya akan
bawa kasus ini ke rektor, supaya sidang kelulusanmu dibatalkan.”
“Pak, jangan
saya mohon. Saya siap bikin ulang tugasnya sendiri, saya siap ngapain aja.”
“Ini bukan
kali pertama, sejak semester 3 saya sudah tahu, Cuma saya biarkan.”
“Tapi, pak.
Saya mau lulus pak, tolong.”
Percakapan tersebut mengakibatkan
Pak Burhan muda di drop-out dari
UGD, tepat seminggu sebelum sidang.
Lowongan
pekerjaan di kompas menjadi kolom favoritnya. Setiap lowongan di Semarang, ia
beri stabilo hijau dan keesokan harinya mengantarkan surat lamaran. Modal
ijazah SMA sulit untuk bersaing dengan ijazah Sarjana. Sampai akhirnya ia
diterima sebagai office boy di salah
satu BUMN. Sebulan bekerja, ia mengetahui bahwa pimpinan perusahaan diisi oleh pensiunan
militer dengan jajaran staf sanak familynya.
Mungkin ini merupakan definisi yang tepat dari kantor adalah rumah kedua.
Suasana kantor yang begitu hangat, bagi mereka sekeluarga. Dan begitu canggung,
bagi kelompok diluar itu. Hanya sebulan ia kuat bertahan di lingkungan
tersebut.
Tekadnya
bulat untuk merantau ke Lampung. Disana ia bekerja di tambak ikan gurami milik
Haji Roni. Tugas yang diberikan meliputi memberi pakan, menguras sirkulasi,
hingga panen. Ia bekerja sambil belajar per guramian. Haji Roni tidak sekolah,
namun nasihat dan bobot omongannya setara dengan rektor UGD. Nilai kemanusiaan
selalu ditanamkan kepada semua pekerjanya. Setelah tiga tahun mengabdi, Haji
Roni terkena serangan jantung. Ia menitipkan tambak guraminya pada Pak Burhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar