Kamis, 20 Juni 2019

KOPI



Pagi ini matahari hanya berani mengintip, tak sampai keluar sepenuhnya. Pak Burhan pergi ke tambak gurami, memberi pakan daun Alocasia macrorrhizos atau orang biasa menyebutnya sente. Tambak seluas 3000 meter itu, telah mengantarkannya keliling dunia menjajakan ekspor gurami. Namun, diusianya yang telah jauh melampaui usia emas, kegiatan ke tambak ia lakukan sebagai agenda melatih otot. Setiap masa panen, ia rutin mengadakan acara mancing gratis untuk warga desa. Mereka datang membawa anak dan tak sedikit pula yang mengajak istri. Menjadi wadah silaturahmi sekaligus rekreasi. Bagi pak Burhan, kebahagiaan sesungguhnya bukan berasal dari kegiatan berdagang, melainkan beramal. 

Selepas dari tambak, ia duduk di pelataran rumah. Lagu Bento ditugaskan sebagai musik pengiring. Pak Burhan meneguk kopi selepas tiga isapan rokok kretek. Teman terbaik saat menyambut pagi dan melepas senja. Dua komponen itu merupakan formula yang tidak bisa ditawar. Baginya kombinasi tersebut sama mematikannya dengan Uni Soviet dan Tiongkok. Sama vitalnya dengan “sluurp” dan ”aaaahh”, sehabis nyeruput kopi. Bayangin deh, gimana canggungnya “sluurp” tanpa diakhiri “aaahh”. 


Istilah kopi sudah melekat pada dirinya sejak SMP. Setiap ada tugas matematika, ia selalu meng-copy tugas temannya. Kegiatan per copy-an ini berlangsung terus sampai Ujian Nasional hingga mengantarkannya ke SMA favorit di kota Semarang. Berbekal kemampuan bergaul yang baik, ia mendekati bintang kelas. Darinya ia memperolah bahan copy-an tugas dan ujian. Seperti dejavu, kegiatan ini mengantarkannya di Universitas Gajah Duduk jurusan Ilmu Hukum jalur undangan.

Kegiatan ini semakin brutal saat duduk di bangku kuliah. Ia dikenal sebagai “TOMAS” alias tokoh masyarakat di kampus. Kepopulerannya sangat mendukung dalam dunia per copy-an. Pak Burhan muda bahkan memperdagangkan tugas yang telah ia copy. Segmentasi pasarnya adalah fakultas bahkan kampus lain. Ia tak pernah menjalin hubungan baik dengan dosen mana pun. Baginya, dosen hanya makluk licik yang memanfaatkan mahasiswa. Sampai suatu ketika petaka datang dari dosen mata kuliah hukum.

“Darimana kamu dapat sumber tugas akhir itu?” tanya dosen dengan sinis.
“Dari internet dan buku referensi, pak.”
“Jawaban bohong kamu, gagal nutupin kebohongan kamu sebelumnya. Saya punya arsip tugas akhir 10 tahun terakhir.”
“Ehm, mungkin kebetulan, Pak!” sanggahnya sambil berkeringat.
“Saya akan bawa kasus ini ke rektor, supaya sidang kelulusanmu dibatalkan.”
“Pak, jangan saya mohon. Saya siap bikin ulang tugasnya sendiri, saya siap ngapain aja.”
“Ini bukan kali pertama, sejak semester 3 saya sudah tahu, Cuma saya biarkan.”
“Tapi, pak. Saya mau lulus pak, tolong.”

Percakapan tersebut mengakibatkan Pak Burhan muda di drop-out dari UGD, tepat seminggu sebelum sidang. 

              Lowongan pekerjaan di kompas menjadi kolom favoritnya. Setiap lowongan di Semarang, ia beri stabilo hijau dan keesokan harinya mengantarkan surat lamaran. Modal ijazah SMA sulit untuk bersaing dengan ijazah Sarjana. Sampai akhirnya ia diterima sebagai office boy di salah satu BUMN. Sebulan bekerja, ia mengetahui bahwa pimpinan perusahaan diisi oleh pensiunan militer dengan jajaran staf sanak familynya. Mungkin ini merupakan definisi yang tepat dari kantor adalah rumah kedua. Suasana kantor yang begitu hangat, bagi mereka sekeluarga. Dan begitu canggung, bagi kelompok diluar itu. Hanya sebulan ia kuat bertahan di lingkungan tersebut.

              Tekadnya bulat untuk merantau ke Lampung. Disana ia bekerja di tambak ikan gurami milik Haji Roni. Tugas yang diberikan meliputi memberi pakan, menguras sirkulasi, hingga panen. Ia bekerja sambil belajar per guramian. Haji Roni tidak sekolah, namun nasihat dan bobot omongannya setara dengan rektor UGD. Nilai kemanusiaan selalu ditanamkan kepada semua pekerjanya. Setelah tiga tahun mengabdi, Haji Roni terkena serangan jantung. Ia menitipkan tambak guraminya pada Pak Burhan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar